Cantik, modis, dan ramah. Itulah
kesan pertamaku berkenalan dengan Indriya R Dani
saat kami sama-sama menghadiri pengajian majlis ta’lim Qoonitaat
di lingkungan rumahku. Dari awal dia sudah menarik perhatian. Sosoknya “eye catching” mengenakan busana muslimah
berwarna cerah dengan hijab
pashmina bermotif cantik dipadu
aksesoris gelang, jam dan cincin yang unik. Pesonanya makin “bling-bling” saat
aku tau dia suka menulis dan sudah menerbitkan 23 buku. Wow... segera saja aku
kepingin mengenalnya lebih dekat.
Seiring berjalannya waktu dengan
berbagai kegiatan di pengajian, aku makin merasa nyaman bersahabat dengannya.
Dia seorang penulis, Ibu dari 3 anak, vokalis Saqina Voice, akrab dengan dunia
seni dan fashion, dan saat ini masih
berstatus mahasiswi. Tak dapat kubayangkan bagaimana dia bisa mengatur waktunya
untuk begitu banyak kegiatan.
Ada satu hal lagi membuat Indriya
tampak “cetar” di mataku. Dia rajin shalat Tahajjud, shalat Dhuha, puasa
Senin-Kamis dan menjaga wudhunya. Kala dini hari ketika aku terlelap di alam
mimpi, dia sering mengirimkan pesan BB, mengingatkan dan mengajakku Tahajjud.
Apa yang dilakukannya mau tak mau membuatku bercermin, malu juga rasanya
melihat diri sendiri yang masih suka
bolong-bolong shalat Tahajjud, shalat
Dhuha dan jarang melakukan puasa. Duuh...
Mengobrol dengannya selalu asyik. Itu
karena kami memiliki kesamaan minat dibidang menulis, traveling dan seni. Dia
banyak bercerita tentang dunianya. Dunia yang
bersentuhan dengan para pekerja seni, fashion, penerbitan buku, dan nara sumber buku-bukunya yang terdiri
dari orang-orang ternama.
Beberapa kali dia pernah mengajakku
ikut melihat dari dekat dunia yang digelutinya. Tapi sayangnya kesibukan kami
sering tak sejalan. Akhirnya hari Jum’at
24 Januri 2014 lalu aku bisa jalan-jalan
menemani Indriya menuntaskan berbagai
urusannya di kota kembang Bandung.
Kemacetan Bogor telah menghadangku
sejak sepanjang jalan Dreded menuju
keluar kompleks Bogor Nirwana Residence, kemudian terurai di jalan Pahlawan.
Namun antrian kendaraan yang padat
kembali memperlambat lajuku di
sepanjang jalan Sukasari dan Padjajaran menuju ke rumah Indriya. Jam telah
menunjukkan pukul 7.21 WIB ketika aku tiba di rumahnya.
Indriya menebar senyum, dia tampak
cantik dengan baju gamis warna pink fanta, dilapis jaket jeans dan padanan
hijab pashmina bermotif cerah, jam tangan berwarna senada dan gelang. Satu hal
yang seakan menjadi ciri khasnya adalah mengenakan hiasan di hijabnya. Hiasan
itu terbuat dari helai bulu ayam berwarna
pink fanta senada dengan baju. Dia
memperkenalkan aku pada Teh Manda, managernya di SABA production. Kami lalu
melakukan shalat Dhuha.
Ketika duduk menikmati secangkir
coklat di ruang tamunya, terdengar suara
kokok ayam. Kulemparkan pandanganku
ke luar, ke kandang berwarna putih yang tampak baru. “ Itu ayam kate hadiah
ulang tahun perkawinan dari suamiku.” Seru Indriya. Aku teringat dia pernah
cerita tentang sepasang ayam hadiah ulang tahun perkawinan yang ke-18 dari
suaminya. Aku tertawa. Menurutku hal itu unik sekali. Bertambah lagi kesamaan
kami, karena seperti suami Indriya, suamiku pun suka memelihara ayam. Bedanya, Indriya senang dihadiahi ayam. Sedangkan aku tidak.
Hehe..
Jam 8
kami berangkat. Sepanjang perjalanan itu kami banyak berbincang seputar
dunia tulis- menulis. Obrolan kemudian
beranjak ke naskah buku yang tengah
dikerjakannya. Indriya tengah menjalani proses penulisan buku tentang gaya
hidup “ Muslimah Kosmopolitan”. Dua kosa kata itu menggelitik rasa ingin
tahuku. Dengan penuh semangat Indriya
menjelaskan bahwa muslimah saat ini menghadapi berbagai pilihan dalam hidupnya.
Contoh kecilnya saja, dalam hal perawatan kecantikan. Saat ini ada banyak
sekali pilihan cara merawat kecantikan mulai dari cara tradisional, penggunaan
teknologi canggih, berbagai bahan kimia hasil penemuan dibidang kosmetik,
hingga suntikan botoks. Di sinilah seorang muslimah harus ekstra hati-hati
menentukan pilihannya. Dari sekian
banyak pilihan itu dia harus pandai
memilih bahan-bahan yang halal dan cara perawatan kecantikan yang sesuai dengan
fikih atau hukum Islam.
Dalam bukunya, Indriya membahas
berbagai hal seputar aktivitas muslimah sehari-hari dalam hal minat, opini
maupun interaksi sosialnya. Singkatnya muslimah kosmopolitan adalah muslimah
yang berwawasan global, mengikuti gaya hidup masa kini tapi tetap berpegang
teguh pada hukum Islam. Sangat menarik! Sepertinya aku melihat muslimah
kosmopolitan sejati pada diri Indriya R Dani.
Berkunjung ke Sekolah Perempuan
Teh Manda, Indriya, aku dan Indari Mastuti di markas Sekolah Perempuan
Agenda pertama yang kami lakukan
ketika tiba di Bandung adalah bertemu dengan Indari Mastuti, pendiri komunitas
Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN), Ibu-ibu Doyan Bisnis (IIDB) dan Sekolah Perempuan.
Aku mengenal Indari ketika bertemu di acara kopi darat IIDN di Bogor bulan
Desember 2013 lalu. Sosoknya yang energik seolah menularkan virus positif
dibidang menulis dan pemberdayaan wanita. Dia telah menjadi tokoh
inspiratif yang mendorongku untuk giat menebar manfaat bagi sesama.
Indari mengajak kami makan siang
dengan menu ikan pecot masakan ibu mertuanya. Lalu kami melaksanakan shalat
Dzuhur dirangkai shalat Ashar jama’
takdim.
Seperti yang sudah aku duga,
mempertemukan Indari dan Indriya ibarat mendekatkan dua kutub energi yang
meletup-letup. Penuh semangat, ide dan kreativitas. Aku tersenyum-senyum
sendiri menyaksikan dua wanita hebat itu saling bertukar informasi dan menyerap
ilmu. Sayang sekali, waktu yang sangat terbatas terpaksa menghentikan obrolan
menarik itu. Mudah-mudahan di lain waktu kami bisa bersama lagi.
Penerbit Rosda
Indriya dan Direktur Penerbit Rosda, Pak Zamzami Djahuri
Acara selanjutnya adalah menghadiri
meeting dengan direktur penerbit Rosda di kawasan Jl. Ibu Inggit Garnasih. Kami
dipersilakan masuk ke ruang meeting di lantai dua kantor penerbit.
Pak Zamzami Djahuri, sang direktur
penerbit menyambut kami dengan ramah. Indriya didampingi Teh manda kemudian
mempresentasikan bukunya dengan sangat meyakinkan. Dalam meeting juga dibahas
mengenai berbagai aspek, misalnya isi buku, tata letak atau lay out, fotografi, alih bahasa dan nara sumber. Pak Zamzami tampak sangat tertarik dan
ingin segera mencetak buku itu. Tampaknya para pembaca hanya tinggal menunggu
terbitnya karya Indriya nanti di bulan Februari 2014.
Di akhir meeting ada kejutan kecil buat
Indriya. Salah satu teman sekolahnya yang sudah 23 tahun tidak berjumpa
ternyata bekerja di penerbit Rosda. Mereka
bertemu, bertukar kabar dan berfoto bersama. Senangnya..
Butik Rya Baraba
Dalam bukunya, Indriya juga membahas tentang fashion. Beberapa desainer
busana muslim akan menampilkan karya mereka di buku itu. Salah satunya adalah
Mbak Rya Baraba. Karena itulah kami lalu meluncur ke kawasan Buah Batu,
mengunjungi butiknya.
Butik cantik dan eksklusif itu
terletak di Jl. Buah Batu nomor 59. Begitu masuk kami disambut aura cozy ruangan
dan keramahan para mbak-mbak pramuniaganya. Berbagai busana muslim bergaya
glamor, eksklusif, feminin dan modern tampak dipajang disana. Setelah
melihat-lihat sebentar, kami dipersilakan naik ke lantai dua untuk bertemu
dengan Mbak Rya.
Seorang wanita cantik dan modis
menyambut kami dengan ramah. Dialah Mbak Rya. Kami kemudian duduk mengobrol lesehan di atas karpet empuk.
Mbak Rya berbagi cerita awal mula
usahanya dibidang fashion. Dia datang dari keluarga berkecukupan. Suaminya
adalah pengusaha sukses dibidang properti. Ternyata sang suami tidak mendukung
ketika Mbak Rya menyatakan keinginannya berwira usaha di bidang fashion.
Menurut suaminya, berjualan makanan atau pakaian itu yang merupakan kebutuhan
paling dasar itu tidak keren. Tapi jiwa enterpreneur dalam diri Mbak Rya tidak
serta merta padam. Dia tetap membuka usahanya di Bandung hingga menjadi besar
seperti sekarang.
“ Bagaimana pendapat suami Mbak Rya
sekarang, setelah melihat berbagai pencapaian Mbak selama ini?” Tanyaku.
“ Ya, biasa saja. Dia tidak pernah memuji saya.” Jawabnya sambil
tersenyum lebar.
“ Ah, pasti sebenarnya dia bangga,
Mbak. Hanya karena ego-nya saja dia tidak mengakui.” Sahutku yang langsung
disambutnya dengan tawa berderai.
Perbincangan kami makin menarik
ketika membahas kemungkinan besar Indonesia akan menjadi pusat fashion muslim
dunia, mengingat Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim terbesar
dan memiliki desainer-desainer hebat yang sangat kreatif. Busana
muslim Indonesia saat ini semakin
dilirik oleh negara-negara tetangga. Misalnya saja Malaysia. Banyak warga negara Malaysia membanjiri
Bandung untuk berbelanja fashion, baik untuk dipakai sendiri maupun untuk
dijual kembali di negaranya. Hal ini sangat membanggakan para desainer
Indonesia.
Di akhir perbincangan kami, Mbak Rya
berseru “ Nah, sekarang kalian semua boleh pilih pashmina mana saja yang kalian
mau, berikut ciputnya. Gratis! Ayo silahkan pilih.”
Bersama Mbak Rya Baraba.
“Cihuiii...!” Kontan aku, Indriya dan
Teh Manda bersorak-sorak gembira.
Kemudian kami sibuk memilih di antara
pashmina-pashimina cantik yang terpajang di dinding butik. Setelah pusing
memilih, akhirnya kami masing-masing memboyong ciput, pashmina dan jepit rambut
cantik dengan wajah sumringah. Terimakasih Mbak Rya...
Ghaida’s Gallery
Matahari telah tenggelam ke
peraduannya ketika kami tiba di kawasan Geger Kalong Girang. Di tengah udara
dingin, kami langsung masuk masjid untuk menunaikan shalat Maghrib dirangkai
shalat Isya jama’ takdim. Rasanya nyaman
beristirahat sejenak di masjid sambil mendengar tausiyah.
Kawasan disekitar pesantren Darut
Tauhid terlihat ramai. Toko-toko dan warung makan di sepanjang jalan buka. Entah
mengapa ada sekelumit kawasan itu yang mengingatkan aku akan suasana di
Madinah, meskipun sebenarnya jauh berbeda. Mungkin karena suasana yang “hidup”
dan aura Islami di sana.
Setelah berjalan beberapa saat, di
ujung sebuah gang, kami mendapati sebuah bangunan yang menurut keterangan
adalah tempat tinggal Ghaida Tsurayya, desainer muda, putri dari Aak Gym dan
Teh Ninih Mutmainah. Kami mengucapkan
salam kepada seorang wanita muda yang menggendong anak balita laki-laki. Dia
kemudian mempersilakan kami masuk,
sementara dia memanggil Ghaida.
Tak lama kemudian, Ghaida muncul
dengan menggendong seorang balita
laki-laki yang terlelap dalam pelukannya. Kami sempat bingung karna balita ini
sangat mirip dengan yang satunya lagi. Ternyata putra Ghaida itu kembar.
Sementara anak pertamanya perempuan.
Ghaida mewarisi garis-garis wajah
ibundanya, Teh Ninih. Gerak-gerik, suara lembut dan keramahannya pun mengingatkan
aku pada Teh Ninih.
Bersama Ghaida Tsurayya
Di usia muda, Ghaida telah membuktikan dirinya
sebagai desainer busana muslim untuk segmen anak muda dengan karya-karya yang apik.
Desainnya sebagian besar bergaya feminin dengan warna-warna pastel yang lembut.
Setelah berbincang sebentar, Ghaida
menyerahkan busana muslim hasil rancangannya untuk dibawa. Busana itu akan
dikenakan oleh model muslimah dalam sesi pemotretan untuk melengkapi buku karya
Indriya.
Hari telah beranjak malam ketika kami
pamit pulang. Sebelum berangkat ke Bogor, kami menikmati makan malam di kawasan
itu. Aku dan Teh Manda memilih Mie Ramen
bakso, sementara Indriya memilih bakso, nasi dan ayam goreng.
Di sela acara makan malam, seorang
teman Indriya menyapa. Gadis muda itu seorang mualaf asal pulau bangka yang tengah menjadi santri di Darut Tauhid. Aku selalu menyimpan kekaguman pada para
mualaf yang sungguh-sungguh menjalankan syariat Islam seperti gadis muda ini. Keimanannya
berqualitas karena dia tergerak sendiri
mencari hidayah dan kebenaran Islam, berbeda dengan seseorang yang telah
menjadi muslim karena dilahirkan dari keluarga muslim.
Malam makin larut, kamipun beranjak
pulang, kembali ke Bogor.