Laman
Minggu, 20 September 2009
Rabu, 16 September 2009
Dea dan Layang-layang
Anak-anak kecil sibuk mencoba baju lebaran. Mematut-matut diri di muka cermin dengan baju barunya, tak sabar ingin memakainya di hari lebaran. Sebagian yang lain sibuk menghitung-hitung banyaknya uang yang bakal mereka dapatkan dari tradisi “salam tempel” atau angpao di hari lebaran. Lalu sibuk berfikir akan dibelikan mainan apa uangnya nanti.
Anak-anak yang lain sudah tak sabar ingin mencicipi hidangan lebaran. Kue kastagel, putri salju, nastar, kacang mete, kue coklat, opor ayam, ketupat, dan kue-kue basah yang lezat mengundang selera.
Tapi, anakku Dea berbeda dengan yang lain. Si Tomboy ini tak peduli dengan baju baru, salam tempel, kue-kue dan segala aktivitas menjelang lebaran. Di awal Ramadan, ketika sore menjelang saat berbuka, dia telah terpesona melihat sebentuk kertas yang meliuk-liuk di udara. Kertas berbentuk belah ketupat itu dicat warna warni, melayang dan menukik, melambai-lambai mengikuti arah angin di langit. Benda itu bernama layang-layang.
Setiap sore dia menanti sang layang-layang di kejauhan menari-nari di langit. Lalu suatu sore dia berteriak, lalu berlari bagai dikejar setan, menerobos rerumputan di lapangan dekat rumah lalu menghilang di balik gundukan tanah. Tak lama, dengan baju kotor dan rambut kusut masai di berlari pulang ke rumah, membawa layang-layang putus, yang telah robek dan basah. Wajahnya terlihat gembira dan puas. Dia menunjukkan layang-layangnya pada Bapaknya. “Pak! Dea dapat layang-layang! Ayo kita main layang-layang! “ Teriaknya girang.
Sayang sekali, layang-layang yang telah sekarat itu tidak dapat dimainkan lagi. Lalu wajah Dea muram. Besok paginya, aku lihat dia sibuk dengan kertas HVS dan lidi, juga lem, spidol dan gunting. Ketika selesai, dengan bangga dia memamerkan hasil karyanya. “Mama! Dea bisa buat layang-layang! Ayo main layang-layang!” Teriaknya.
Sekali lagi, sayang seribu sayang... Layang-layang karya Dea tidak bisa diterbangkan. Kertasnya terlalu tebal dan bentuknya tak memenuhi standart layak terbang buat layang-layang. Deapun kembali muram.
Akhirnya, aku dan suamiku iba juga melihat Dea. Maka dimulailah perburuan layang-layang. Sore hari, sambil menunggu waktu berbuka tiba, Dea dan bapaknya berkeliling naik motor mencari penjual layang-layang. Mereka menyusuri pasar tradisional, dan juga mall-mall. Tapi hari itu mereka gagal. Tak ada seorangpun penjual layang-layang mereka temui di tempat-tempat itu.
Keesokan harinya, perburuan dilanjutkan. Kali ini di mall dan pasar yang lain di Bogor. Tapi kali ini juga gagal lagi. Dea cuma bisa pulang dengan wajah cemberut. Lalu di kejauhan dia melihat layang-layang putus diterbangkan angin. Seketika itu juga dia berlari kencang, tak perduli kakinya kotor karena tak sempat memakai sandalnya. Kelihatannya dia masih juga kurang beruntung, layang-layang itu memang bisa diambilnya, tapi lagi-lagi sudah robek.
Suatu sore dia pulang dengan membawa layang-layang putus di tangannya. Layang-layang itu masih bagus, tidak sobek. Semangatnya kembali membara, dia sibuk mencari-cari benang di lemari dan laci-laci. Lalu dengan semangat dia menyambungkan layang-layang itu dengan benang. Weleh...weleh... Deaku sayang, Deaku malang, tentu saja dia gagal menerbangkan layang-layang itu karena benangnya putus melulu. Dia tak tahu kalau menerbangkan layang-layang harus dengan benang khusus, bukan benang untuk menjahit baju!
Suatu sore, suamiku ingin membeli kue-kue kecil untuk buka puasa sambil ngabuburit menunggu waktu buka puasa. Dengan motor dan Dea yang nangkring dijok belakang dia berkeliling. Kali ini masuk ke perkampungan padat penduduk di kelurahan Mulya Harja. Ketika menyusuri jalan disepanjang rel kereta api, di sebuah gubuk kayu yang kumuh, ada pemandangan yang sangat menarik yang membuat Dea terlonjak girang. Di teras gubuk itu ada bale-bale kayu, yang diatasnya terjejer beraneka warna layang-layang dari kertas roti. Segera saja mereka mampir di gubuk itu dan memborong 10 layang-layang impian Dea.
Kali ini aku melihat senyum puas di wajah Dea. Tak bosan-bosan dipandanginya ke 10 layang-layang itu. Tapi lagi-lagi Dea masih belum bisa memainkan layang-layang itu, karena belum ada benangnya.
Keesokan harinya, suamiku pulang ke rumah sambil membawa satu gulungan benang layang-layang. Tak terperikan betapa gembiranya Dea. Setelah berhari-hari berharap, akhirnya hari itu dia bisa benar-benar mewujudkan keinginannya. Ketika layang-layangnya telah menari-nari di langit sore, dia berteriak girang, tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak tak mampu menahan kegembiraannya yang membuncah.
Empat hari menjelang Ramadan, Dea kembali muram. Aku heran, apalagi yang difikirkan si tomboy-ku ini. “ Dea, kenapa,Nak?” Tanyaku. “ Dea pengen ngajak Bapak jalan-jalan lagi, cari kacamata.” Katanya. Aku heran, kok kacamata? Apa Dea sudah bosan dengan layang-layangnya? Demikian fikirku. “ Buat apa kacamata?” Tanyaku lagi. “ Ya, buat dipakai dong! Dea perlu kacamata hitam, untuk dipakai waktu main layang-layang supaya gak silau kena sinar matahari!” Teriaknya.
Oalaaah.... Dea..Dea...
Sabtu, 22 Agustus 2009
Tradisi Makan Bersama “Cucurak”
-->
Senin, 17 Agustus 2009
Aktivitas Pagi di Club House
-->
Minggu, 05 Juli 2009
Wedding Aniversary: Makan Malam di Cibubur
Tak terasa, tanggal 28 Juni 2009 yang lalu aku dan suami sudah menikah selama 11 tahun. Cepat sekali waktu berlalu, begitu banyak hal yang patut disyukuri, nikmat rezeki, kesehatan, anak-anak yang lucu, dan kebersamaan yang indah, sungguh membahagiakan.
Kali ini, kami yang masih sibuk karena baru saja pindahan ke Bogor, tetap ingin melakukan sesuatu untuk membuat ulang tahun perkawinan ini meninggalkan kesan. Rencananya, ingin makan bersama anak-anak dan pembantu di tempat yang nyaman. Suami mengusulkan tempat makan di Cibubur yang katanya nyaman, di pinggir danau. “Idealnya makan disana siang hari atau sore, sehingga bisa kelihatan danaunya.” Begitu kata suamiku.
Rencana yang sudah tersusun, terpaksa ditunda beberapa kali karena lemari yang dipesan untuk rumah baru kami harus di cat ulang oleh sang tukang kayu. Kami terpaksa tidak bisa meninggalkan rumah karena si tukang mengecat ulang di rumah kami. Akhirnya, hanya tersisa waktu malam tanggal 28 Juni. Apa boleh buat, daripada tidak jadi, maka kami pergi juga.
Selesai shalat maghrib, kami berangkat. Aku, suamiku, Anin, Dea, Rafif, si mbak Susan, dan Bude Sum, semua ikut. Perjalanan dari Bogor ke Cibubur lewat tol yang biasanya cuma 30 menit, ternyata molor sampe 1,5 jam! Maceeet!! Entah apa yang terjadi, di jalan tol itu macetnya minta ampun. Antrian panjang kendaraan didepan kami berlanjut sampai akhirnya kami keluar di Cibubur. Jam sudah menunjukan pukul 20.30 ketika kami sampai di rumah makan yang dimaksud.
Taman Laut Seafood Restaurant. Begitulah nama tempatnya. Begitu kami tiba, langsung disambut oleh pelayan dan disiapkan tempat. Fiuh... untung gak datang lebih lambat, kalo terlambat sedikit saja terpaksa kami harus mengantri. Semua tempat sudah terisi, full! Seperti yang sudah dikatakan suamiku, danau buatan yang terletak di sebelah restaurant itu tak terlihat cantiknya karena malam sudah gelap.
Menanti Mr. Crab
Kami langsung memesan makanan. Kepiting saus padang, tumis kangkung, kepiting goreng dan sapo tahu. Si mbak berdua itu kebingungan menetukan pilihan menu, akhirnya setelah lama berfikir, mereka serempak bilang,” Gado-gado aja deh!” weleh...weleh... perjalanan macet 1,5 jam menahan lapar, ke restaurant seafood kok malah pesan gado-gado. Akhirnya, selain gado-gado mereka mau juga mencoba makan kepitingnya.
Ketiga anakku terlihat malas-malasan. Cuma Anin yang semangat makan kepiting yang dijulukinya Mr. Crab, kayak tokoh di film Sponge Bob Square-pants. Rafif yang mengantuk sama sekali tak mau makan. Dea juga hanya makan yogurt.
Masakan disini enak. Kepiting saus padang pas bumbunya. Sebenarnya yang hobi makan kepiting itu suamiku, aku tidak terlalu suka, karena repot mengupas kulit kepiting yang keras. Kata suamiku, justru di situ seninya, repot, belepotan, tapi enaaak.
Setelah acara makan selesai, kami kembali ke Bogor. Jalan di tol berbeda 180 derajat dari pada saat kami menuju Cibubur. Lengang dan lancaaar. Kami melihat antrian panjang kendaraan macet masih berlangsung di arah yang berlawanan. Dan benar saja, dari Cibubur sampai di Bogor cuma 30 menit saja!
Selasa, 30 Juni 2009
Mengenang Sahabatku, Hendro Darsono
Hendro Darsono adalah salah satu temanku dari SMA3 Palembang yang cerdas dan tekun. Meskipun cuma sempat 1 tahun sekelas dengan dia, di kelas 1, tapi aku mengenalnya sebagai anak yang baik, pendiam, cerdas dan berprestasi. Tidak banyak yang aku ketahui tentang dia, karena dia sangat tertutup. Ada beberapa teman wanita yang menaruh hati pada Hendro, tapi kelihatannya Hendro tak menanggapi. Tak pernah aku melihat letupan emosi dari Hendro, dia selalu tampak tenang dan kalem.
Waktu itu, dia tidak pernah ikut pelajaran praktek olahraga. Aku yang tidak tau kondisinya, sempat juga “iri” karena disaat kami semua harus lari keliling lapangan, berpanas-panas, capek dan berkeringat,dia cuma duduk saja di kelas.Dari teman-teman yang lain aku cuma tau bahwa dia kurang sehat, ada masalah dengan tulangnya sehingga dia tidak boleh melakukan aktivitas yang berat.
Pada saat kami duduk di kelas 3, aku dan Hendro di utus sekolah untuk ikut pemilihan murid teladan tingkat SMA. Jujur saja, saat itu aku merasa tak pantas, berbeda dengan Hendro yang menurutku memang cocok jadi murid teladan. Tapi karena desakan guruku waktu itu, akhirnya aku bersedia. Aku masih ngat bagaimana kami bersama-sama datang ke tempat test dan wawancara di sekolah lain. Dia kelihatan sehat dan siap, meskipun akhirnya kami berdua gagal menjadi siswa teladan, tapi aku tahu Hendro memperoleh nilai yang cukup tinggi sebagai kandidat siwa teladan.
Setelah tamat SMA, aku tahu Hendro diterima tanpa test di Universitas Sriwijaya, fakultas Ekonomi. Tapi kemudian dia mengundurkan diri, karena tubuhnya tak kuat bila harus menjalani masa perkuliahan yang melelahkan.
Bertahun-tahun kemudian, aku dapat kabar lagi bahwa dia ternyata sudah menyelesaikan pendidikan S1 Ekonomi lewat jalur Universitas Terbuka.
Akhir tahun 2007, aku dapat kabar bahwa Hendro sudah menerbitkan beberapa buku. Aku langsung tertarik untuk menghubungi Hendro, karena ingin menimba ilmu dari dia. Maka setelah dapat nomor ponselnya, aku coba hubungi dia.
Suara di seberang sana masih seperti dulu, tenang, hati-hati dan terkontrol. Dia masih Hendro yang dulu. Dia cerita bahwa meskipun dia hanya di rumah saja, tapi banyak sekali kegiatan yang dilakukannya. Dia mengajar anak-anak SMP, SMA, bahkan tamatan S1 dan S2 juga banyak yang belajar darinya. Hendro yang cerdas dan tekun, itulah dia. Selain itu dia bertanya tentang kegiatanku. Dengan malu-malu aku bilang bahwa aku ibu rumah tangga. “Wah, gak kreatif dong. Mau gak aku ajari bikin blog? Bisa buat cari dollar lho... cocok buat ibu rumah tangga sepertimu, gak perlu meninggalkan rumah, tapi bisa juga menghasilkan uang.” Begitu katanya. Lalu dia menjelaskan bagaimana blog bisa dipakai buat mengais dollar. “ Dewi kan sudah bisa bahasa Inggris, dan bisa menulis. Artinya sudah ada modalnya, kalo mau datang saja ke rumahku.”
Hari selanjutnya aku bertemu Prima Maya Sari, sahabatku di SMA. Ketika aku ceritakan tawaran Hendro itu, Prima langsung semangat, dia juga mengajak Indrawati, teman kami juga untuk ikut bergabung belajar bersama Hendro.
Di awal tahun 2008, Aku, Prima dan Indrawati rajin menyambangi rumah Hendro. Ada 10 kali pertemuan untuk belajar berbagai hal tentang internet dan terutama blog. Setiap petunjuknya aku ikuti sampai aku bisa membuat blog dan bahkan bisa juga mengikuti jejaknya mengais dollar, meskipun belum sebanyak yang dihasilkannya tapi aku sudah membuktikan bahwa hal ini bisa aku lakukan.
Aku sering juga berkomunikasi lewat telepon, e-mail dan sms, menanyakan berbagai hal. Dia juga sering mengirimiku tips-tips tentang blog dan menjaring job dan juga software yang mendukung blog.
Hingga suatu hari, setelah beberapa lama tidak ada kabarnya, dia mengirimi aku sms. “ I’m somewhere, waiting for a miracle..” begitu bunyi sms-nya. Aku langsung merasa tak enak, aku langsung mencoba menghubungi ponselnya, tapi tak ada jawaban. Berkali-kali tak diangkatnya. Akhirnya aku kesal juga. Aku kirimi dia sms bernada marah. Barulah dia jawab, bahwa dia dalam kesulitan besar. Tak lama kemudian, ponselku berdering, dari Hendro. “ Hallo, ...” lalu diam. Aku segera merasakan gelombang kesedihan yang dahsyat di seberang sana. Terbata-bata dia bercerita bahwa dia baru saja menjalani operasi besar yang menghabiskan tabungannya, dengan harapan setelah ini dia akan bisa berjalan lagi, tapi... hasilnya malah sangat menyakitkan dan dia saat ini lumpuh total, dari pinggang ke bawah, dia tak dapat merasakan sentuhan, dan tak dapat mengontrol buang air besar maupun kecil. Dunia bagaikan runtuh bagi Hendro.. Air mataku mengalir, tapi aku tak ingin dia tau aku menangis. Aku berusaha menguatkannya, memberikan harapan bahwa Tuhan bisa menyembuhkan semua penyakit. Aku ingatkan dia agar tak berhenti berusaha mencari jalan kesembuhan.
Keesokan harinya aku datangi dia di rumah sakit. Dia terbaring, pucat, sedih dan lesu. Tak banyak yan dibicarakannya, aku ajak ibunya keluar ruangan dan kami bertangis-tangisan. Ya Allah... betapa berat cobaan hidup Hendro Darsono.
Hari-hari berlalu, dukungan dan bantuan teman-teman mengalir. Ada yang memberikan dana ada juga yang memberikan obat alternatif dan supplemen kesehatan. Beberapa kali aku main ke rumahnya,emosinya up and down. Terkadang dia terlihat bersemangat dan ingin terus menjalani theraphy, tapi kadangkala dia terlihat lesu dan banyak diam.
Pada kesempatan aku dan suami berangkat menunaikan ibadah haji di akhir tahun 2008, aku berdoa buat kesembuhannya, di depan Ka’bah, juga di tempat-tempat lain di tanah suci. Aku mohon kesembuhan dan secercah kebahagiaan buat sahabatku Hendro.
Sehari menjelang kepindahanku ke Bogor, aku sempatkan mengunjungi dia, dan memberi sovenir untuk kenang-kenangan. Aku yang di temani Prima, dan seorang teman SD-ku bisa melihat dengan jelas betapa pucat dan lesunya sahabatku itu. Dia bilang sudah dua minggu tidak aktif mengurus blog-blognya. Lalu dia banyak diam. Aku dan Prima hanya ngobrol dengan ibunda Hendro yang menjelaskan bahwa Hendro demam lagi. Hanya sebentar aku bertemu dengannya, karena masih banyak hal lain yang harus aku urus untuk kepindahan ke Bogor. Itulah saat terakhir aku bertemu Hendro.
Pagi ini, 30 Juni 2009, ponselku berdering. Nama Hendro Darsono terlihat dilayar ponselku. Aku sempat senang, karena mengira dia yang menelepon, ternyata suara isak ibundanya yang mengabarkan Hendro Darsono sudah berpulang ke Rahmatullah. Tak dapat kutahan derai air mataku, sempat terbersit kenapa Tuhan tak mengabulkan doaku dan memberi kesembuhan bagi Hendro... Tapi aku tersadar bahwa Tuhan tau apa yang terbaik buat hambaNya. Selamat jalan, sahabatku. Semoga ilmu yang telah kau ajarkan pada aku dan murid-muridmu yang lain akan menjadi amal jariah dan pahala yang tak terputus buatmu. Semoga Allah Swt mengampuni dosamu dan memberimu tempat yang lapang di surga. Amiin....
Rabu, 10 Juni 2009
Membahagiakan Anak? Cuma Rp. 2000,-!
Aku sebenarnya agak khawatir, takut odong-odongnya patah, tak sanggup menahan beban berat tubuh si bungsuku itu yang sudah mencapai 28 kg. Lalu, mulailah sang bapak mengayuh odong-odongnya. Kasihan juga melihat bapak itu harus mengayuh lebih kuat, karena bobot Rafif yang berat. Tapi lihatlah keceriaan anakku itu, dia ikut bersenandung riang mengikuti lagu yang diputar seiring kayuhan odong-odong.
Selesai satu lagu, Rafif masih tak mau turun, maka si Bapak sekali lagi mengayuh odong-odongnya sampai selesai satu lagu lagi. Rafif tertawa gembira, dia turun dari odong-odong dengan puas. “Berapa, Pak?” tanyaku pada si Bapak. “ Rp. 2000,- bu.” Katanya sambil mengelap peluh di jidatnya. Kasihan juga bapak itu, lalu aku bayar dengan memberi lebih dari yang diminta.
Kalau difikir, sungguh sederhana cara membuat anakku gembira, cukup Rp. 2000,- aku sudah bisa melihat luapan kegembiraannya. Pancaran kegembiraan yang ikut juga menghangatkan hatiku. Terimakasih Pak tukang odong-odong.....
Selasa, 02 Juni 2009
Would You Be a Good Wife or Husband?
I Would Be a Good Spouse 70% of the Time |
I'm caring, patient, giving, and romantic. I'm willing to work for a marriage. More than anything, I'm not about to let your ego ruin a relationship. I'm humble and unselfish. And that's the key to being a good spouse. Click here to know whether You Be a Good Wife or Husband |
Minggu, 31 Mei 2009
Salah Satu Resep Memperolah Ketenangan Jiwa
Jumat, 22 Mei 2009
Soto Ambengan
Tempat makan ini lumayan nyaman. Pengunjung bisa memilih untuk duduk di dalam atau duduk di terasnya. Tersedia hot spot disini, sehingga bisa makan sambil browsing internet. Sotonya disajikan di wadah yang unik, dengan api kecil yang menyala di bagian bawah wadah, sehingga sotonya selalu panas. Tapi pelayan akan membantu memadamkan api di wadah soto itu bila pelanggan menginginkannya.
Ada satu lagi keunikan disini, yaitu sebelum dinikmati, soto bisa ditaburi dengan bumbu yang tersedia di meja, sehingga rasa soto akan semakin gurih. Aku tidak tahu pasti, sebenarnya bumbu itu terbuat dari apa, kelihatannya seperti bawang goreng yang di tumbuk halus dan di campur sejenis kerupuk, hingga rasa bumbu taburan itu unik dan gurih. Rasa sotonya lumayan enak. Apalagi bila dimakan pada saat lapar. Kuahnya ditiup, lalu dihirup, slurp...slurp..Hmmm... nyam..nyammm
Senin, 18 Mei 2009
My Five Variable Love Profile
Propensity for Monogamy:
Your propensity for monogamy is high.
You find it easy to be devoted and loyal to one person.
And in return, you expect the same from who you love.
Any sign of straying, and you'll end things.
Experience Level:
Your experience level is high.
You've loved, lost, and loved again.
You have had a wide range of love experiences.
And when the real thing comes along, you know it!
Dominance:
Your dominance is low.
This doesn't mean you're a doormat, just balanced.
You know a relationship is not about getting your way.
And you love to give your sweetie a lot of freedom.
Cynicism:
Your cynicism is medium.
You'd like to believe in true and everlasting love...
But you've definitely been burned enough to know better.
You're still an optimist, but you also are a realist.
Independence:
Your independence is low.
This doesn't mean you're dependent in relationships.
It does mean that you don't have any problem sharing your life.
In your opinion, the best part of being in love is being together.
If you want to know your own Five Variable Love Profile, just Click Here
Selasa, 12 Mei 2009
Asyiknya Jadi Ibu Rumah Tangga
Selasa, 05 Mei 2009
Mie Ayam Favorite
Bicara tentang selera makan anak-anak kadang-kadang bikin pusing. Seharusnya mereka makan sesuai dengan tuntunan 4 sehat 5 sempurna, seperti nasi, sayur, lauk-pauk, buah-buahan dan susu. Tapi untuk menerapkan pola menu sehat itu tidak gampang, terutama untuk kedua gadis kecilku, Anin dan Dea. Mereka tidak suka makan sayur. Lain halnya dengan Rafif, yang suka semua jenis makanan, sehingga aku juga di buat pusing dengan selera makannya yang luar biasa.
Makanan kesukaan Anin dan Dea adalah mie ayam. Dea, yang setiap hari membawa makanan ke sekolah hampir setiap hari meminta bekal mie ayam. Aku sudah pernah mencoba membuat sendiri mie ayam untuk Dea, tapi rasanya tidak sukses, tidak selezat mie ayam favorite Dea dan Anin, yaitu Mie Ayam French yang salah satu outletnya ada di lantai dasar Palembang Trade Center.
Hari Minggu tanggal 3 Mei yang lalu, kembali anak-anakku mengajak makan mie ayam di French Bakery and Bakmi. Jadilah aku dan keluarga beserta satu orang keponakanku, Rifqi, menikmati mie ayam yang enak itu.
Rafif, yang sebelumnya sudah makan nasi, ternyata sanggup melahap habis satu porsi mie ayam dengan bakso. Sebenarnya aku khawatir dia bisa bertambah gemuk, tapi sulit sekali membatasi selera makannya. Anin, Dea dan Rifqipun sangat menikmati makanan favorite mereka itu.
Sebenarnya menu di French Bakery and Bakmi ini lumayan banyak, ada kue dan roti, pempek, tekwan , model, nasi goreng, dan menu oriental. Tapi menu andalannya adalah mie ayam yang sudah lumayan terkenal sejak dulu. Rasa dan bumbunya yang pas dimulut membuat mie ayam French menjadi menu kesukaan anak-anakku.
Jumat, 01 Mei 2009
Dea Sakit Campak
Aku langsung meluncur ke sekolah Dea. Begitu sampai, langsung menuju ke kelasnya di lantai dua.
Setelah mengetuk pintu kelas yang langsung di buka, aku melihat Dea terduduk lesu di kursinya. Miss Irma yang membantu membereskan buku-buku dan alat tulis menjelaskan bahwa suhu tubuh Dea tinggi. Setelah mengucapkan terimakasih dan berpamitan, aku bawa Dea pulang.
Hari itu Dea istirahat di rumah. Setelah aku beri obat penurun panas, dia bisa main playstation. Malamnya suhu tubuh Dea panas lagi, jadi aku beri lagi dia obat penurun panas.
Esok paginya, waktu aku menyalakan lampu kamar, aku kaget melihat di tubuhnya banyak sekali ruam-ruam kemerahan. Ruam itu terdapat di badan, wajah, tangan dan kakinya. Aku langsung mengenali penyakit ini, pasti campak.
Campak adalah infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam dan timbulnua ruam-ruam pada kulit baik ruam makula ( ruam yang mendatar pada kulit ) atau papula ( ruam kemerahan yang menonjol). Campak disebabkan oleh Paramiksovirus dengan masa inkubasi 10-14 hari sebelum gejala muncul.
Hari itu juga diantar sopir, aku bawa Dea ke dokter anak langganan yang praktek di Graha Spesialis. Dokter hanya menyarankan Dea istirahat, karena menurutnya untuk anak dengan gizi baik, penyakit ini tidak berbahaya. Dia hanya meresepkan obat penurun panas dan vitamin untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Dia juga menyarankan Dea tidak masuk sekolah dulu sampai keadaannya membaik.
Tapi berhubung penyakit ini sangat menular, aku hanya pasrah saja karena tidak bisa melarang Dea berdekatan dengan Teteh Anin-nya dan adiknya Rafif. Mudah-mudahan meskipun nantinya tertular, mereka tidak akan mengalami sesuatu yang serius.
Jumat, 24 April 2009
Ke Taman Buah Mekar Sari
Aku dan anak-anakku bersama saudara iparku, Wati dan suaminya Yono, juga anak-anak mereka Rifki dan Ilham, berangkat dari Bogor sekitar jam 10 pagi. Kami tiba diTaman Buah Mekar Sari saat jam makan siang.
Karena perut sudah lapar, kami menikmati makan siang di kantin. Menunya soto. Rasanya memang tidak istimewa, tapi menjadi istimewa karena dimakan pada saat lapar.
Selanjutnya kami berjalan-jalan di area Taman yang luas. Karena tak mungkin mengelilingi taman buah yang luas dengan berjalan kaki, kami naik kendaraan yang mirip kereta mengitari kompleks Taman Buah. Seorang pemandu menceritakan sejarah Taman Buah Mekar Sari dan juga menjelaskan berbagai tanaman buah yang ada beserta berbagai fasilitas yang tersedia di Taman ini.
Dari penjelasannya, aku tau bahwa ada arena outbond yang sangat menarik bagi anak-anak. Dan juga hal lain yang menarik adalah tersedia juga penginapan yang berbentuk rumah pohon yang dapat di sewa untuk menginap bersama keluarga.
Di bagian depan taman, ada sederetan kios yang menjual buah-buahan. Berbagai macam buah dari yang biasa di temui sampai buah yang terhitung langka bisa di beli disini. Semua itu adalah tanaman hasil panen dari Taman Buah Mekar Sari.
Kendaraan lalu berhenti di sebuah tempat yang nyaman, dimana ada danau buatan yang di sekelilingnya di jadikan tempat bermain dan duduk-duduk santai. Kami menikmati angin yang bertiup sepoi-sepoi dari arah danau, rasanya lumayan segar.
Karena hari kian beranjak sore, kami putuskan untuk segera pulang ke hotel di Bogor.
Tapi sebelum pulang, Anin, Dea , Rifki dan Ilham menyempatkan diri bermain Fling Fox. Permainan yang cukup menguji nyali, dan mengasyikkan buat anak-anak. Mula-mula mereka harus memanjat jala-jala dari tali untuk mencapai tempat yang tinggi di tower, dimana mereka akan meluncur ke arah tower yang lain, lalu mendarat di sana.
Bisa kulihat jelas kegembiraan di wajah mereka. Ah, senangnya....
Selasa, 21 April 2009
Welcome Back, My Laptop
Welcome Back, My Laptop
Ah.. senangnya. Akhirnya Laptop kesayanganku yang tempo hari di rusak anak kesayanganku sudah selesai diperbaiki. Meskipun bayarnya mahal, hiks..hiks.., tapi rasanya semangat menulisku telah pulih kembali.
Tempo hari, rusaknya lumayan parah, keyboardnya sampai rontok-rontok dan tidak bisa menyala sama sekali. Aku sendiri heran, apa sebenarnya yang dilakukan Rafif pada laptopku ini, sampai rusaknya parah begitu
Selama sang laptop di perbaiki, aku sempat pakai laptop yang satu lagi, tapi herannya tak bisa membangkitkan gairah menulisku. Entah kenapa tak ada satupun ide menulis yang bisa kuwujudkan, padahal laptop pengganti itu lebih canggih.
Semoga hari-hari kedepan, aku jadi tambah semangat menulis di kedua blogku yang sempat terbengkalai selama ini.
Terimakasih buat suamiku tercinta, karena kebaikan hatinya, aku bisa kembali akrab dengan laptop kesayanganku.
Minggu, 12 April 2009
Reuni Habis-habisan ( III )
Aku dan Ety mendadak pergi ke pasar tradisional demi acara rujakan itu. Setelah lengkap semua buah2an Indonesia, seperti mangga muda, kedondong, nanas, jambu, dan bengkoang, dan tak lupa juga kami beli pempek sebagai pelengkap, kami pulang ke rumah tuk bikin bumbu rujaknya.
Sedang asyik mengulek bumbu, Yeni dan Patriani datang. Suasana jadi seru dan heboh dengan gurauan dan obrolan kami. Mereka datang dengan perut lapar, jadilah kami makan siang dulu, dengan lauk seadanya yang ternyata malah terasa nikmat sekali. Sayur lodeh, tempe goreng dan ikan sepat sambel masakan Mbak Sum, langsung pindah ke perut teman-temanku itu. Entah kenapa, rasanya aku senang sekali. Jarang ada kesempatan seperti ini.
Ketika kami asik bersenda gurau di dapur, sambil memotong-motong buah, Iman datang. Dia dengan gayanya yang lucu, langsung bergabung di dapur. Aku tertawa melihat kelakuan antik teman2-ku itu, masih seperti dulu waktu kami murid SMP-SMA.
Lalu, setelah selesai semuanya, kami bawa rujak dan pempek ke rumah J-7, yang hanya berselang 4 rumah saja dari rumah yang aku tempati. Rumah J-7 tidak aku tempati, tapi setiap hari di bersihkan. Rumah ini tempat aku dan suami menyalurkan hobi nyanyi, karena ada peralatan karaoke disitu. Selain itu juga kami sering menghabiskan waktu bersama, nonton DVD, atau ngobrol disana bila sedang tidak mau diganggu anak-anak.
Dan mulailah acara nyanyi-nyanyi itu. Etydengan suara soprannya, Patriani dengan suara mezzo soprannya, dan Yeni dengan suara alto-nya sungguh mengingatkan aku bahwa kami dulu punya begitu banyak kegiatan di bidang seni suara. Sudah berapa banyak lagu-lagu kami buat komposisi harmoninya, sehingga jadilah kami vocal group yang lumayan handal di masa itu. Banyak lomba-lomba vocal group dan paduan suara yang kami juarai membawa nama sekolah. Sungguh kenangan indah.
Iman-pun suaranya merdu. Padahal semasa SMA dulu, dia tidak terlalu aktif di bidang nyanyi, tapi dia sangat aktif di dunia tari. Akhirnya ada ide untuk latihan nyanyi lagu “Nostalgia SMA” dengan harmoni suara 1 dan 2, yang rencananya akan kami nyanyikan esok harinya, di Vulcano café.
Hari ke-lima Kamis, 19 Maret 2009
Hari ini lagi-lagi ngumpul. Kali ini bertempat di café Vulcano, di kompleks Palembang Trade Center. Selepas shalat Ashar, aku dan Etty berangkat ke tempat itu. Waktu kami datang, sudah banyak teman-teman yang hadir. Ada Yeni, Patriani, Lasmi, Vivi, Iman, dan lain-lain, lalu menyusul hadir juga Yetie Widiasari, Redho, dan Bu Atek serta Ibu Lina. Semuanya ada 14 orang.
Acara ngobrol mengenang masa lalu diselingi dengan nyanyi-nyanyi diiringi keyboard. Suasanan tambah seru waktu Patri nanyi lagu dangdut, beberapa teman joget dangdut, dan yang seru jogetnya siapa lagi kalau bukan Yeni. Ibu satu ini benar-benar asyik, jauh deh dari kesan jaim alias jaga image, he..he..
Acara di Vulcano ditutup dengan lagu “Nostalgia SMA” yang kami nyanyikan, sehingga semua terbawa suasana kemasa waktu kami SMA dulu, waktu lagu ini popular di nyayikan Paramitha Rusadi.
Sayangnya, aku gak bisa ikut acara selanjutnya karena harus menjemput suamiku ke Bandara. Aku dan Anin yang juga ikut segera pamit. Sementara teman-temanku melanjutkan nyanyi-nyanyinya di karaoke The Hitz di jl. Veteran.
Ini baru reuni habis-habisan, sampe puas, 5 hari berturut-turut. Kapan lagi bisa begini?