Aku tidak menyadari kalau itu akan berakibat buruk padanya. Dia memang agak batuk, dan seharusnya aku tidak memberi coklat itu sampai dia benar-benar sehat. Jam 3 dini hari, Rafif gelisah dalam tidurnya. Batuknya makin hebat. Aku balurkan minyak kayu putih di dada dan punggungnya. Jam 4 dia terbangun, dan kali ini dia muntah.
Aku kasihan melihat dia susah tidur lagi.
Jam 7 pagi, dia muntah lagi. Aku beri dia obat batuk, obat pilek dan juga Ventolin, karena nafasnya mulai berat dan berbunyi. Sedih sekali melihat dia, berusaha tidur, tapi terus batuk dan sesak nafas.
Aku coba telepon dokter anak langganan. Tidak diangkat. Lalu aku kirim sms, lama kemudian baru di balas. Sang dokter rupanya sedang weekend di Jakarta. Akhirnya aku bawa Rafif ke rumah salit Charitas, Unit Gawat Darurat. Dibantu Susan, pengasuhnya, dan Anin juga ikut menemani.
Celotehnya mulai terdengar lagi ketika dia di inhalasi. Para perawat tertawa geli meladeni pertanyaan-pertanyaan Rafif.
Selesai di inhalasi, kami ke apotik menebus obat, dan langsung pulang.
Meski sudah 2 kali minum obat, kelihatannya nafasnya masih saja berat. Aku tak tega melihatnya. Dia menolak segala makanan yang disodorkan, sesuatu yang jarang sekali terjadi bila Rafif sehat. Muntah- muntahnya masih berlanjut. Dia tiduran terus. Aku tak boleh jauh darinya, tangannya terulur memeluk diriku.
Kecemasanku meningkat waktu aku lihat bibirnya yang agak biru dan juga daerah sekitar lingkaran matanya. Nafasnyapun masih berat meski tidak berbunyi keras seperti pagi tadi. Aku coba hubungi dokter anak via sms, dan jawabannya aku disuruh membawa Afif kembali ke Rumah Sakit.
Jam menunjukkan pukul 20.10 ketika kami sampai di Rumah Sakit Charitas. Dokter yang memeriksa Rafif menyarankan dia kembali di inhalasi, bahkan sampai dua kali. Dokter menyarankan Rafif meneruskan minum obat sesuai resep yang diberikan tadi pagi. Nafasnya agak lega setelah inhalasi selesai. “ Mama, Afif mau pulang...” rengeknya memelas.
Malam itu Rafif bisa tidur meskipun beberapa kali terbangun. Nafasnya masih berat dan pendek.
“Sayangku, kalo saja penyakitmu bisa dipindahkan, biar Mama saja yang sakit.” Tangisku dalam hati...