Episode ketika aku membuka lembaran baru hidupku dengan memakai jilbab dan busana muslimah takkan pernah terlupakan. Sebenarnya ketika pertama kali mengetahui perintah memakai jilbab dalam Al Qur’an, hatiku sempat bergetar. Kala itu aku masih duduk di bangku SMA kelas 2.Tapi getaran itu segera mereda, dan mengendap jauh dalam hatiku. Aku terlalu mencintai kegiatan seni, terutama menari yang hampir mustahil dilakukan dengan mengenakan busana muslim. Selama bertahun-tahun getaran itu timbul tenggelam seirama dengan keimananku yang naik turun
Pada tahun 1992, aku sudah menjadi mahasiswi jurusan Teknik Sipil tahun ke-dua. Selain kuliah, kegiatanku menari semakin menjadi-jadi. Aku ikut beberapa sanggar tari dan juga Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bidang tari di kampusku. Setiap kali menari dari satu pesta ke pesta pernikahan yang lain, aku mendapat honor yang sangat lumayan untuk ukuran mahasiswi pada masa itu. Tekadku makin kuat untuk terus menekuni hobby ini, bahkan kalau bisa sampai menari ke luar negeri.
Namun lambat laun ada kegelisahan tumbuh di hatiku yang semakin lama semakin kuat. Kegelisahan itu datang dari dua sisi diriku yang saling bertentangan. Di satu sisi aku meyakini kebenaran perintah memakai jilbab yang terdapat dalam Al Quran surat An Nur ayat 31 dan Al Ahzab ayat 59. Kesadaran itu mendesak-desakku, sedemikian rupa hingga aku merasa di teror rasa bersalah bila tak melakukannya.Tapi disisi lain aku tak sanggup meninggalkan dunia tari menari yang kucintai hanya demi memakai jilbab.
Hingga pada suatu hari, 2 minggu sebelum bulan Ramadhan. Aku tengah berada di atas panggung di sebuah gedung dimana aku dan teman-teman berlatih menari untuk bertanding di ajang festival tari tingkat nasional di Bali yang akan digelar 1 bulan setelah Idhul Fitri.Di atas panggung itu pikiranku tiba-tiba kacau. Aku merasa diserang oleh sebagian dari diriku sendiri dengan berbagai pertanyaan yang menusuk hati. “ Apa yang kau lakukan? Apa yang kau cari dengan menari meliuk-liuk mempertontonkan dirimu di depan banyak orang.? Kau pikir dirimu hebat?!Kenapa tak kau kau hiraukan perintah Tuhanmu ? Dasar bebal!Rasakanlah, kau takkan menemukan kedamaian! “ Begitulah kira-kira suara dalam hatiku. Mendadak tarianku tak beraturan, aku merasa risih dan malu. Pelatih tari dan teman-temanku murka. Aku bingung, kutinggalkan mereka.
Hari-hari berikutnya hidupku menjadi tak karuan. Nilai-nilai ujian mata kuliahku hancur. Di ruang kuliah aku tak dapat menangkap sedikitpun apa yang diterangkan dosenku. Ragaku terduduk disana, tapi jiwaku melayang penuh gelisah. Aku tak bisa tidur, tak nafsu makan, tak mampu berpikir, bernafaspun rasanya perih . Aku tak bisa menangis, apalagi tertawa. Shalatku kacau, tak ingat sudah berapa rakaat kulakukan. Tatapan ku nanar, sungguh aku takut mati dalam keadaan tak siap. Orang tua dan teman-temanku bertanya-tanya, namun tak sanggup sedikitpun kuungkapkan perasaanku. Aku suka menyendiri menahan hatiku yang terasa mau meledak. Pertempuran hebat dalam hatiku, menerorku terus menerus berhari-hari. Setiap hari bagaikan mimpi buruk bagiku.Tak ada kedamaian, sungguh merana hidupku.
Saat Ramadhan datang, aku memasuki bulan penuh berkah itu dengan tampang yang sungguh menyedihkan. Tubuh kurus kering , mata cekung, dan wajah yang suram. Tak kudapatkan hikmah puasa dan shalatku. Tak ada gunanya berdo’a karena Tuhan memunggungiku. Itulah yang kurasakan. Tak sudi Dia mendengar pintaku, ratapanku, rengekanku memohon kedamaian dan ketentraman jiwa . Untaian doaku melambung tinggi, memantul-mantul di Arasy-Nya, kemudian dicampakkanNya hingga tersungkur, hancur lebur di bumi bagaikan sampah tak berguna. Jiwaku meradang, sakitnya tak terperi karena tak dihiraukan sang pemilik kehidupan.Aku tak sanggup lagi
Di pagi pertengahan bulan Ramadhan tahun 1992 itu, aku putuskan untuk mengakhiri penderitaanku. Aku pasrah dalam firmanNya. Sehelai jilbab dan busana muslimah kukenakan. Mendadak sontak derita jiwaku sembuh. Ketentraman menyusup dalam hatiku. Aku bernafas dengan lega, berbuka puasa dengan makanan apapun rasanya nikmat, tidurku nyenyak, pikiranku jernih. Duhai dunia, betapa indahnya! Betapa damainya!
Tapi, cobaan datang justru dari orang-orang terdekat. Mamiku sangat menentang keputusanku berjilbab. Dia sangat kecewa dengan keputusanku. Dia sangat khawatir aku akan punya masa depan suram, sulit mendapat pekerjaan, sulit mendapat jodoh dan sulit memperoleh rezeki. Di masa itu memang belum terlalu banyak orang mengenakan jilbab. Di tambah lagi, dimata Mamiku, jilbab adalah benda yang menjauhkan aku dari penampilan modis dan modern, yang menurutnya di sukai pria-pria mapan. Dimatanya, dengan jilbab aku terlihat kampungan. Menurut Mamiku, dengan penampilan menyedihkan begitu, mana ada pria yang sudi menjadikan aku istrinya, dan mana ada perusahaan mau menerima aku sebagai karyawan.Sebenarnya, aku mengerti pandangannya. Di masa itu, belum ada jilbab-jilbab cantik berhias bordir, mote, manik-manik atau sulaman yang modis. Jilbabku waktu itu hanyalah sehelai kain yang dipotong persegi dan pinggirnya di obras. Pakaianpun belum ada baju muslim yang modis seperti sekarang ini. Aku hanya mengenakan kemeja tangan panjang, dan celana kulot yang panjang sampai mata kaki. Aku mungkin memang terlihat kampungan, kelewat sederhana atau apalah istilahnya, tapi aku tak perduli. Yang penting hatiku tentram, jiwaku damai.
Hambatan dari Mamiku bertambah hebat. Dia mulai menangis tersedu-sedu, memohon padaku agar aku mau melepas jilbabku. Karena tak tahan dengan rengekannya, aku mencoba menenangkan diri dengan pergi dari rumah. Aku menginap di tempat kos salah satu sahabatku, Desi Heltina. Desi yang sudah lebih dulu mengenakan jilbab sangat mendukung aku. Dia menceritakan keadaanku pada teman-temannya. Maka bantuanpun berdatangan. Aku yang tak punya apa-apa merasa sangat bersyukur dengan kebaikan teman-temannya yang juga akhirnya menjadi teman-temanku. Ada yang memberi aku uang, ada yang membawakan aku makanan, bahkan ada yang memberiku beberapa helai pakaian. Aku sangat terharu...
Setelah beberapa hari di tempat Desi, aku merasa lebih kuat. Aku sadar bahwa tidak boleh melarikan diri dari kenyataan. Jadi betapapun pahitnya perlakuan Mami, aku harus menghadapinya. Aku memutuskan pulang ke rumah.
Selama 6 bulan berikutnya, Mami tak menegur aku. Perkataan-perkataaan bahwa dia malu mempunyai anak kampungan seperti akupun kerap mampir di telingaku. Tapi tekadku tak goyah. Aku ingin membuktikan bahwa segala kekhawatirannya sungguh tak beralasan. Aku percaya sepenuhnya, jodoh dan rezeki Tuhan yang mengatur. Selama aku berjalan di jalanNya, aku percaya selalu akan ada kemudahan bagiku.
Setelah 6 bulan berlalu, Mami mulai luruh hatinya. Dia mulai membelikan aku pakaian, meskipun dia masih jarang menegurku. Aku bersyukur, setidaknya ada kemajuan.
Lalu, satu persatu kekhawatirannya tak terbukti. Sejak mengenakan jilbab, sejumlah pria menunjukkan ketertarikannya padaku. Mereka bukan pria yang suka ke hura-hura, atau yang suka luntang lantung menghabiskan waktu di tempat hiburan malam. Pria yang tertarik padaku setidaknya mereka yang relatif lebih baik, pria yang mendirikan shalat 5 waktu, atau pria yang aktif dengan kegiatan di Masjid.
Setelah tamat kuliah, aku mengirimkan lamaran kerja kemana-mana. Tak lama kemudian, sebuah perusahaan Jepang memanggilku untuk wawancara. Hasilnya, aku diterima dan langsung diminta bekerja pada minggu berikutnya. Orang-orang Jepang yang atheis itu sama sekali tak mempermasalahkan jilbabku. Mereka hanya bertanya, “ Apakah tidak merasa kepanasan? “ Hanya itu. Tidak ada permintaan untuk melepas jilbab.
Waktu berlalu, Alhamdulillah Tuhan memberiku rezeki yang lapang. Di tempat kerja itu juga aku mengenal Sutedja Eddy Saputra, yang sekarang menjadi suamiku.
Telah kubuktikan pada Mami, bahwa segala yang dikhawatirkannya tak terjadi. Aku yakin telah memilih jalan yang benar. Aku sangat bersyukur, sejak itu hubunganku dengan Mami kembali harmonis.
17 tahun telah berlalu, kusimpan kecintaanku pada dunia tari di album masa laluku.Aku simpan kenangan masa sulit hidupku, hingga hari ini aku tuliskan di sini. Aku ingin berbagi cerita, semoga ada manfaatnya bagi pembaca.
Pada tahun 1992, aku sudah menjadi mahasiswi jurusan Teknik Sipil tahun ke-dua. Selain kuliah, kegiatanku menari semakin menjadi-jadi. Aku ikut beberapa sanggar tari dan juga Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bidang tari di kampusku. Setiap kali menari dari satu pesta ke pesta pernikahan yang lain, aku mendapat honor yang sangat lumayan untuk ukuran mahasiswi pada masa itu. Tekadku makin kuat untuk terus menekuni hobby ini, bahkan kalau bisa sampai menari ke luar negeri.
Namun lambat laun ada kegelisahan tumbuh di hatiku yang semakin lama semakin kuat. Kegelisahan itu datang dari dua sisi diriku yang saling bertentangan. Di satu sisi aku meyakini kebenaran perintah memakai jilbab yang terdapat dalam Al Quran surat An Nur ayat 31 dan Al Ahzab ayat 59. Kesadaran itu mendesak-desakku, sedemikian rupa hingga aku merasa di teror rasa bersalah bila tak melakukannya.Tapi disisi lain aku tak sanggup meninggalkan dunia tari menari yang kucintai hanya demi memakai jilbab.
Hingga pada suatu hari, 2 minggu sebelum bulan Ramadhan. Aku tengah berada di atas panggung di sebuah gedung dimana aku dan teman-teman berlatih menari untuk bertanding di ajang festival tari tingkat nasional di Bali yang akan digelar 1 bulan setelah Idhul Fitri.Di atas panggung itu pikiranku tiba-tiba kacau. Aku merasa diserang oleh sebagian dari diriku sendiri dengan berbagai pertanyaan yang menusuk hati. “ Apa yang kau lakukan? Apa yang kau cari dengan menari meliuk-liuk mempertontonkan dirimu di depan banyak orang.? Kau pikir dirimu hebat?!Kenapa tak kau kau hiraukan perintah Tuhanmu ? Dasar bebal!Rasakanlah, kau takkan menemukan kedamaian! “ Begitulah kira-kira suara dalam hatiku. Mendadak tarianku tak beraturan, aku merasa risih dan malu. Pelatih tari dan teman-temanku murka. Aku bingung, kutinggalkan mereka.
Hari-hari berikutnya hidupku menjadi tak karuan. Nilai-nilai ujian mata kuliahku hancur. Di ruang kuliah aku tak dapat menangkap sedikitpun apa yang diterangkan dosenku. Ragaku terduduk disana, tapi jiwaku melayang penuh gelisah. Aku tak bisa tidur, tak nafsu makan, tak mampu berpikir, bernafaspun rasanya perih . Aku tak bisa menangis, apalagi tertawa. Shalatku kacau, tak ingat sudah berapa rakaat kulakukan. Tatapan ku nanar, sungguh aku takut mati dalam keadaan tak siap. Orang tua dan teman-temanku bertanya-tanya, namun tak sanggup sedikitpun kuungkapkan perasaanku. Aku suka menyendiri menahan hatiku yang terasa mau meledak. Pertempuran hebat dalam hatiku, menerorku terus menerus berhari-hari. Setiap hari bagaikan mimpi buruk bagiku.Tak ada kedamaian, sungguh merana hidupku.
Saat Ramadhan datang, aku memasuki bulan penuh berkah itu dengan tampang yang sungguh menyedihkan. Tubuh kurus kering , mata cekung, dan wajah yang suram. Tak kudapatkan hikmah puasa dan shalatku. Tak ada gunanya berdo’a karena Tuhan memunggungiku. Itulah yang kurasakan. Tak sudi Dia mendengar pintaku, ratapanku, rengekanku memohon kedamaian dan ketentraman jiwa . Untaian doaku melambung tinggi, memantul-mantul di Arasy-Nya, kemudian dicampakkanNya hingga tersungkur, hancur lebur di bumi bagaikan sampah tak berguna. Jiwaku meradang, sakitnya tak terperi karena tak dihiraukan sang pemilik kehidupan.Aku tak sanggup lagi
Di pagi pertengahan bulan Ramadhan tahun 1992 itu, aku putuskan untuk mengakhiri penderitaanku. Aku pasrah dalam firmanNya. Sehelai jilbab dan busana muslimah kukenakan. Mendadak sontak derita jiwaku sembuh. Ketentraman menyusup dalam hatiku. Aku bernafas dengan lega, berbuka puasa dengan makanan apapun rasanya nikmat, tidurku nyenyak, pikiranku jernih. Duhai dunia, betapa indahnya! Betapa damainya!
Tapi, cobaan datang justru dari orang-orang terdekat. Mamiku sangat menentang keputusanku berjilbab. Dia sangat kecewa dengan keputusanku. Dia sangat khawatir aku akan punya masa depan suram, sulit mendapat pekerjaan, sulit mendapat jodoh dan sulit memperoleh rezeki. Di masa itu memang belum terlalu banyak orang mengenakan jilbab. Di tambah lagi, dimata Mamiku, jilbab adalah benda yang menjauhkan aku dari penampilan modis dan modern, yang menurutnya di sukai pria-pria mapan. Dimatanya, dengan jilbab aku terlihat kampungan. Menurut Mamiku, dengan penampilan menyedihkan begitu, mana ada pria yang sudi menjadikan aku istrinya, dan mana ada perusahaan mau menerima aku sebagai karyawan.Sebenarnya, aku mengerti pandangannya. Di masa itu, belum ada jilbab-jilbab cantik berhias bordir, mote, manik-manik atau sulaman yang modis. Jilbabku waktu itu hanyalah sehelai kain yang dipotong persegi dan pinggirnya di obras. Pakaianpun belum ada baju muslim yang modis seperti sekarang ini. Aku hanya mengenakan kemeja tangan panjang, dan celana kulot yang panjang sampai mata kaki. Aku mungkin memang terlihat kampungan, kelewat sederhana atau apalah istilahnya, tapi aku tak perduli. Yang penting hatiku tentram, jiwaku damai.
Hambatan dari Mamiku bertambah hebat. Dia mulai menangis tersedu-sedu, memohon padaku agar aku mau melepas jilbabku. Karena tak tahan dengan rengekannya, aku mencoba menenangkan diri dengan pergi dari rumah. Aku menginap di tempat kos salah satu sahabatku, Desi Heltina. Desi yang sudah lebih dulu mengenakan jilbab sangat mendukung aku. Dia menceritakan keadaanku pada teman-temannya. Maka bantuanpun berdatangan. Aku yang tak punya apa-apa merasa sangat bersyukur dengan kebaikan teman-temannya yang juga akhirnya menjadi teman-temanku. Ada yang memberi aku uang, ada yang membawakan aku makanan, bahkan ada yang memberiku beberapa helai pakaian. Aku sangat terharu...
Setelah beberapa hari di tempat Desi, aku merasa lebih kuat. Aku sadar bahwa tidak boleh melarikan diri dari kenyataan. Jadi betapapun pahitnya perlakuan Mami, aku harus menghadapinya. Aku memutuskan pulang ke rumah.
Selama 6 bulan berikutnya, Mami tak menegur aku. Perkataan-perkataaan bahwa dia malu mempunyai anak kampungan seperti akupun kerap mampir di telingaku. Tapi tekadku tak goyah. Aku ingin membuktikan bahwa segala kekhawatirannya sungguh tak beralasan. Aku percaya sepenuhnya, jodoh dan rezeki Tuhan yang mengatur. Selama aku berjalan di jalanNya, aku percaya selalu akan ada kemudahan bagiku.
Setelah 6 bulan berlalu, Mami mulai luruh hatinya. Dia mulai membelikan aku pakaian, meskipun dia masih jarang menegurku. Aku bersyukur, setidaknya ada kemajuan.
Lalu, satu persatu kekhawatirannya tak terbukti. Sejak mengenakan jilbab, sejumlah pria menunjukkan ketertarikannya padaku. Mereka bukan pria yang suka ke hura-hura, atau yang suka luntang lantung menghabiskan waktu di tempat hiburan malam. Pria yang tertarik padaku setidaknya mereka yang relatif lebih baik, pria yang mendirikan shalat 5 waktu, atau pria yang aktif dengan kegiatan di Masjid.
Setelah tamat kuliah, aku mengirimkan lamaran kerja kemana-mana. Tak lama kemudian, sebuah perusahaan Jepang memanggilku untuk wawancara. Hasilnya, aku diterima dan langsung diminta bekerja pada minggu berikutnya. Orang-orang Jepang yang atheis itu sama sekali tak mempermasalahkan jilbabku. Mereka hanya bertanya, “ Apakah tidak merasa kepanasan? “ Hanya itu. Tidak ada permintaan untuk melepas jilbab.
Waktu berlalu, Alhamdulillah Tuhan memberiku rezeki yang lapang. Di tempat kerja itu juga aku mengenal Sutedja Eddy Saputra, yang sekarang menjadi suamiku.
Telah kubuktikan pada Mami, bahwa segala yang dikhawatirkannya tak terjadi. Aku yakin telah memilih jalan yang benar. Aku sangat bersyukur, sejak itu hubunganku dengan Mami kembali harmonis.
17 tahun telah berlalu, kusimpan kecintaanku pada dunia tari di album masa laluku.Aku simpan kenangan masa sulit hidupku, hingga hari ini aku tuliskan di sini. Aku ingin berbagi cerita, semoga ada manfaatnya bagi pembaca.
Assalamualaikum WWr Wb.
BalasHapusUkhti, saya tertarik dengan kisahnya.
Kebetulan saat ini bersama seorang kawan, akhwat, saya sedang mengumpulkan kisah2 seputar permasalahan sebagaimana yang pernah ukhti miliki ini(seperti dalam tulisan ini) untuk kita bukukan dan perdalam lagi dengan sentuhan2 inspirasi dan motivasi bagi wanita2 muslimah lainnya agar berkenan menutup auratnya secara sempurna juga.
Karenanya, saya minta ijin untuk men-copy kisahnya dan saya masukkan sebagai salah satu bahan tulisan kami, boleh apa tidak?
Insya ALLAH, dengannya semoga kita semua bisa berbagi kebaikan dengan membagi kesadaran yang merubah kehidupan orang lainberawal dari kisah inspiratif yang bisa kitaa persembahkan bagi mereka. Bersama-sama masuk surga secara berjamaah.
Bagaimana ukh?
Afwan, kami tunggu kabar gembira dari ukhti yaa...
Barangkali mau berhubungun dengan rekan saya dalam menulis ini langsung, bisa di add email beliau di zi2zahap@yahoo.com atas nama ukti Zivana/ ukhti Iin.
Kalo email saya althaf_gitu@yahoo.com atas nama Khalid Althaf.
Mohon bantuannya & mohon di ijinkan ya ukh...
Jazakallah khairan katsira... ^_^