MENGANALISA HAMBATAN DENGAN NEURO LOGICAL LEVEL
Banyak pertanyaan para emak yang rajin japri dengan pertanyaan serupa
“Mbak Iwed, bagaimana sih kok bisa tahan dan sabar menghadapi Akang yang dulu Rahwana? Pernah nggak terpikir untuk bercerai saja?”
OOO.. ya pernaah, Gaess ๐.
Duluuu.. meskipun aku konsisten berupaya membangun kemesraan, beban emosinya terasa berat menghadapi perilaku Akang. Akang dulu khatam melakukan 4 pelanggaran alias kesalahan dalam komunikasi suami istri semacam critism ( mengkritik/ mencela), contempt (merendahkan/ menghina), defensiveness ( ngeles) dan stonewalling (menolak berkomunikasi/ mengabaikan), +marah-marah+ memukul anak+sombong + gak mesra lagi. Lengkap ya Gaess.. wkwkwkwkwkwk๐๐๐๐…
Dulu aku nggak ngerti, kenapa kok berat sekali rasanya, meski saat itu aku sudah punya skill mengelola emosi.
Lalu di 2014, Mbak Okina Fitriani ngajarin aku tentang Neuro Logical Level,sebuah model yang dikembangkan oleh Robert Dilts berdasarkan tingkatan neurologis yang digagas oleh antroplog bernama Gregory Bateson.
Neuro Logical Level (NLL) ini sebenarnya adalah stuktur cara berpikir manusia. NLL ini banyak gunanya, salah satunya untuk menganalisa hambatan ketika menuju sebuah tujuan.
Model NLL itu aslinya berbentuk hirarki, tapi aku lebih nyaman menggunakan gambar yang seperti ini.
Goal atau tujuanku bunyinya begini :
Melakukan kemesraan (memeluk, membelai, mencium, memandang dengan sayang, menyentuh, berkata dengan nada rendah dan sejenisnya) pada suami setiap hari setiap ada kesempatan selama menjadi istrinya.
Goal inilah yang aku analisa dengan menggunakan NLL, sehingga ketahuan apa yang menghambat , sekaligus menemukan jawaban pertanyaan,”Kenapa terasa berat?”
Lalu setelah hambatannya diluruskan, aku bisa sangat nyaman melaksanakan goal itu.
Analisa Goal di Level Environment
Di level lingkungan. Aku melihat lingkungan tempat aku melakukan goal itu adalah lingkungan yang sungguh mendukung. Di rumah, di kamar,bahkan juga di luar rumah. Tidak ada larangan melakukan kemesraan semacam bergandengan tangan dan merangkul pasangan halal meski di tempat umum kan ya? Di level ini aman, tidak ada hambatan.
Analisa Goal di Level Behavior
Goal ini berada di level Behavior karena kemesraan itu memang berbentuk perilaku. Ye kan?
Melakukan kemesraan ini ya gampang .Tinggal melakukan gerakan menyentuh, memeluk, mencium dan sebagainya. Gampil sekutil laah..aku sehat dan tidak ada hambatan melakukan berbagai gerakan. Tapiii… meski gampil, Kok beraaat rasanya ya?
Nah… Kalau terasa ada hambatan, aku harus nge check level-level di atas level Behavior ini. Karena, level diatas atasnya itu mempengaruhi level yang di bawahnya.
Analisa Goal di Level Capability/Skill:
Untuk terlaksananya goal ini, apa sih capability atau skill yang aku butuhkan? Menghadapi suami dengan perilaku “challenging” model si Akang jelas aku membutuhkan keterampilan mengelola emosi. Kalau dihitung-hitung, sudah lengkap sih. Aku sudah bisa senyum 20 detik, self distance, anchor, perceptual position, reframing, self coaching ( berdialog dengan self talk lengkap dengan metamodel untuk mengugurkan belief ), editting sub modalities, dan forgiveness. Mestinya aman ya?
Tapi kenyataannya menggunakan skill mengelola emosi untuk menghadapi perilaku Akang ibarat berhadapan dengan rasa pusing kepala, terus aku minum obat pereda nyeri. Hilang rasa pusingnya, lalu muncul pusing lagi, minum obat lagi hingga reda, pusing lagi, minum obat lagi. Begitu saja terus. Wakakakak๐๐๐…
Kalau dibiarkan bisa keracunan obat kan ya?Oke.. berarti aku harus terus menganalisa di level-level yang lebih tinggi untuk tahu ada hambatan apa sebenarnya.
Analisa Goal di Level Value/ Belief
Aku punya keyakinan apa sih yang mendukung melaksanakan goal ini? Ada gak keyakinan yang menghalangi aku melakukan kemesraan? Itu dua pertanyaan yang aku ajukan ke diri sendiri. Ternyata di level ini aku hanya menemukan keyakinan-keyakinan yang mendukung. Keyakinan semacam,” Istri itu ya memang harus mesra ke suaminya.” “ Mesra ke suami itu perbuatan halal dan di ridhoi Allah” dan sejenisnya. Cucok meyong ๐
Analisa Goal di Level Identity
Bagaimana aku menggambarkan diriku dalam rangka melaksanakan goal itu? Jawabnnya seperti ini : Aku ini istri yang setia. Aku adalah orang yang konsisten. Aku adalah orang yang suka romantisme dalam percintaan. Identitas-identas ini jelas mendukung terlaksananya goal. Ye kan?
Lalu salahnya dimana? Kok belui ketemu hambatannya, Gaess??
Analisa Goal di Level Spiritual.
Di level ini aku tanyakan pada diri sendiri . Untuk apa aku lakukan goal itu? Untuk siapa? Kalau aku sudah tidak ada di dunia ini aku ingin dikenang sebagai apa?
Nah.. di level ini baru deh terjadi kehebohan luar biasa di dalam kepalaku. Ketika aku jawab bahwa aku melakukan semua ini untuk si Akang. Terjadilah dialog seperti ini :
Jlebbb….Ya Allah…. Akibat self talk yang demikian, berhari-hari aku melamun. Kacau rasanya. Ditambah lagi terus menghadapi Akang yang (dulu) mirip Rahwana, makin galau aku.
Di puncak rasa lelah secara psikis. Aku sampai bertanya-tanya sama diri sendiri.
“Aku itu sebenarnya cinta apa nggak sih dengan si Akang ini. Kok ya gini balasannya
atas segala upaya aku mesra-mesra? Kayaknya benar aku gak cinta lagi. Apa aku pisah aja ya. Ya Allah bagaimana ini?.”
Dalam lamunan, aku membayangkan Tuhan berkata,”
“Hai Iwed, kamu dulu minta-minta jodoh padaKu. Kamu shalat istikharah minta dipilihkan yang terbaik menurutKu. Sudah Aku kabulkan doamu,lho. Sudah aku kasih jodoh untukmu. Terus sekarang bilang gak cinta? "
"Walau hatimu sakit, kecewa, sedih, capek, merasa gak cinta atau apalah, tetap saja selama kamu masih berstatus istrinya, kalau kau ingin disentuh, ingin memeluk, ingin mesra-mesra, Aku hanya ridho kalau kamu lakukan kepada manusia yang namanya Sutedja Eddy Saputra ini. Bahkan kalau rasanya gak cinta, tapi kamu tetap bilang “I love You” padanya, kamu dapat pahala dan ridhoKu. Karena perbuatan itu sesuai dengan syariah, dan apa yang Kuperintahkan. Sekarang Aku uji dirimu dengan perilaku suamimu yang demikian. Kamu mau tetap taat apa nggak??”
Sudah dapat jawaban dari kegalauan selama ini.
Dulu, istilah “Mencintai karena Allah hanyalah sebuah jargon, yang aku tak paham maknanya, tak pula paham cara menjalaninya .
Ketika di level spiritual sudah diganti dengan “berharap ridhoNya”, aku jadi paham, apa bedanya “mencintai suami” dengan “ mencintai suami karena Allah”
Bedanya bisa didengar dari self talk.
Ketika dulu aku memeluk Akang penuh antusias berharap Akang membalas, self talkku bunyinya begini,” Aku cinta padamu.. Aku cintaa Akang..” Akang berdiri diam saja tak membalas pelukanku, ekspresinya dingin lempeng macam patung es. Terus dia melenggang pergi masuk mobil meninggalkan sekeping hati seorang istri yang pediiiih,Esmeralda. Self-talk ribut berkeluh kesah,”Aku ini dianggap apa? Kok tega sih nggak membalas pelukanku? Sakitnya aduuuh sakitnyaa. ” Lalu aku sibuk menyelesaikan emosi pakai macam-macam teknik. Berat, sodara-sodara.. Besoknya begitu lagi berulang-ulang.
Setelah diganti di di level spiritual dengan “berharap ridhoNya” kejadiannya begini :
Aku peluk Akang. Dia bilang, “ Duuh.. cepetan. Nanti Akang telat ke kantor.”
Eh.. nggak ngefek ke emosiku ๐. Self talk-self talk yang biasanya protes dengan sikap Akang, pada mingkem semua๐ท.
Aku terus memeluk dengan nyaman sambil bilang.”Hati-hati ya sayang, Semoga kerjaan Akang lancar dan dimudahkan Allah. Aamiin” Terus cium pipi kiri kanan. Akang melenggang masuk mobil. Aku senyuuum sampai mobilnya menghilang di tikungan. Hatiku tetap nyamaan senyaman pagi yang cerah.
Kenapa?
Karena self talkku yang dominan bilang begini,” Tuhan..Tuhanku..lihatlah! Aku melakukan perbuatan yang Engkau ridhoi. Ini perbuatan yang Engkau ridhoi kan?. “ Efek berkata seperti itu membuat hatiku terasa melonjak-lonjak penuh semangat. Rasanya ringaan sekali, karena aku tahu semua tindakan dan ucapan baikku, dicatat Malaikat yang tak pernah lalai mencatat amal manusia. Tidak masalah, apakah Akang menanggapi dengan dingin atau apa pun, karena balasan Akang bukan menjadi tujuanku.
Rasa ringan, nyaman dan tenang ini jauh berbeda dibanding sebelumnya. Mungkin begini rasanya menjadi jiwa yang tenang karena self talk yang memberdayakan.
Kembali ke NLL tadi. Ketika semua level telah menjadi selaras, maka upaya menjalankan goal itu menjadi wuss..wuss…wusss…ringaaan, kawan.
Mungkin karena aku konsisten berlaku mesra bertahun-tahun lamanya, atau mungkin juga karena Tuhan kasihan padaKu. Dia kemudian menggerakkan hati Akang untuk membalas kemesraan-kemesraan itu. Ciee…ciee๐… wkwkwkwkwk๐..
Ibarat membangun Menara, kalau dulu menaranya roboh melulu karena niat atau pondasinya salah, kini Menara itu tak lagi hancur. Ia tumbuh makin kuat makin tinggi, makin menjulang membawa harapanku, Insya Allah kelak akan mencapai surgaNya. Aamiin..